BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Konsep
maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang
terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara
sistimatis oleh seorang ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada
(Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya
yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II,
yang beliau namakan kitab al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya
syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad),
baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan
beliau, menjadi maqashid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan
syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan),
didasarkan pada suatu ‘Illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan
kemaslahatan hamba.
Untuk
mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga
tingkatan, yaitu: Maqashid dharûriyât, Maqashid hâjiyat, dan Maqashid
tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang
jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât
maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti
rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsiniat artinya
sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan,
semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharuriyat
beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama
(hifzh ad-din); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh
al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh
al-mal).
Secara
substansial maqasid al-syari'ah mengandung kemashlahatan, baik ditinjau
dari maqasid al-syari' (tujuan Tuhan) maupun maqasid al-mukallaf
(tujuan Mukallaf).3 Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid al- Syariah
mengandung empat aspek, keempat aspek inilah yang akan menjadi pokok pembahasan
dalam makalah ini, (1). Tujuan awal dari Syari' (Allah dan rasul-Nya)
menetapkan syariah yaitu untuk kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. (2).
Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami. (3).Penetapan syariah
sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan. (4).Penetapan Syari’ah
guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum yakni terhindar dari mengikuti
Hawa nafsu.
B. Pengertian Maqashid al-Syari’ah
Secara bahasa
Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah.
Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari
maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau
memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر
الي الما artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat
juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Didalam Alqur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya
sebagai mana yang terdapat dalam surat al-Jassiyah dan al-Syura;
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah
agama[1340]7
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13)
Dari dua
ayat diatas bisa disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam
perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya,
tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya
sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep
Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan
yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur
hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim,
alam dan seluruh kehidupan.
Setelah
menjelaskan definisi maqashid dan Syari’ah secara terpisah kiranya perlu
mendefinisikan Maqashid Syari’ah setelah digabungkan kedua kalimat tersebut (Maqashid
Syari’ah). menurut Asafri Jaya Bakri bahwa “Pengertian Maqashid Syari’ah
secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh,
boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan
mereka. Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta’rif
yang khusus, beliau Cuma mengungkapkan tentang syari’ah dan funsinya bagi
manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafakat”:
هذه الشريعة .... وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام
مصالحهم في الدين والدنيا معا Artinya: “Sesungguhnya syariat itu
ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia
dan Akhirat”.
الاحكام
مشروعة لمصالح العباد
Artinya: “Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.
Dari ungkapan al-Syatibi tersebut yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri bisa
dikatakan bahwa Al- Syatibi tidak mendefinisikan Maqashid Syariah secara
konfrehensif Cuma menegaskan bahwa doktrin Maqasid
Al Syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu
Asy-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau
alasan pensyariatan hukum Islam,berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani
misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat
itu bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat,
melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah)
dari penerapan syariat. Mengapa
An-Nabhani mengatakan hikmah tidak dikatakan ‘illat? Karena menurut ia nash
ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah
menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan adanya sifat
rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Misalnya firman Allah Swt
dalam Alqur’an Surat Al-Isra (17) ayat 82 dan al-Anbiya ayat 107 yang artinya;
Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.
Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lil (bentuk kata
yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lil. Jadi maksud
ayat ini, bahwa hasil (al-natijah) diutusnya Muhammad saw adalah akan menjadi
rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil
pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari penetapan syaria.
Dari penjelasan diatas memang tidak ada satu ketegasan tentang definisi
Maqashid Syari’ah namun demikian ada sebagian Ulama mendefinisikan Maqashid
Syariah sebagai mana penulis kutip ketika kuliah bersama Prof. Dr. Nawir
Yuslim, M.A yaitu:
المقاصد
العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم
وتحسناتهم
Artinya: Maqashid Syari’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia
dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan
Hajiat dan Tahsiniat mereka.
Kami menyimpulkan Bahwa Maqashid Syari’ah
adalah: konsep untuk mengetahui Hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara'
yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh al-Syari'
terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah)
maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai
kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan
menyempurnakan kebutuhan Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat
(tersier).
C. Syariah ditetapkan untuk kemaslahatan Hamba didunia
dan di akhirat.
Ibnu qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung
keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang
dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam. Hal senada
juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban
diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hokum
Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga
dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan). Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah,
maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima
misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin
terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid
al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.
Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi
kepada tiga tingkat, الضروريات مقاصد, حاجيات مقاصد dan مقاصد التحسينات .
Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level
ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala
masing-masing level satu sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level
Dharuriyyat menempati peringkat pertama disusul Hajiyyat dan Tahsiniyyat.
level Dharuriat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi
kehidupan manusia. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi
kelima tujuan diatas. Sementara level Hajiyyat tidak mengancam hanya
saja menimbulkan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level Tahsiniyyat,
adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat
dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur Agama, aspek
daruriayyatnya antara lain mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek
dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyyat, dan
menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat. Ketiga level ini, pada hakikatnya
adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum Islam.
Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Syari’ah, berikut ini
akan dijelaskan ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan skala prioritas
masing-masing.
(1). Memelihara Agama (حفظ الدين)
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:
1.
Memelihara Agama dalam peringkat
Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk
peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu
diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.
2.
memelihara Agama dalam peringkat
Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari
kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang
berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam
eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang
melakukannya.
3.
Memelihara agama dalam peringkat
tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat
manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya
menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian
dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal
ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi
agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
(2). Memelihara jiwa ( (حفظ النفس
Memelihara
jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
1.
memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat,
seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi
jiwa manusia.
2.
memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat,
seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk
menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka
tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
3.
memelihara dalam tingkat tahsiniyyat,
seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan
dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa
manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
(3). Memelihara Aqal (حفظ العقل )
Memelihara aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat:
1. Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum
minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat
terancamnya eksistensi aqal.
2.
Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat,
seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan,
maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam
kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
3.
Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat.
Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak
berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi
aqal secara langsung.
(4). Memelihara keturunan (حفظ النسل )
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
1.
memelihara keturunan dalam peringkat
daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan
ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
2.
memelihara keturunan dalam peringkat
hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami
pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak
disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia
harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami
kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah
tangganya tidak harmonis.
3.
memelihara keturunan dalam peringkat
tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal
ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini
diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula
mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
(5). Memelihara Harta (حفظ المال)
Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat:
1.
memelihara harta dalam peringkat
daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan
mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu
dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
2.
memelihara harta dalam peringkat
hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini
tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan
mempersulit orang yang memerlukan modal.
3.
memelihara harta dalam peringkat
tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau
penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis.
Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab
peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan
pertama.
Dari paparan
diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum Islam
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok,
yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama
juga dengan merusak visi dan misi hukum islam. Dengan demikian akan menuai
kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
D. Syari’at sesuatu yang harus dipahami.
Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami
sehingga dicapai kemashlahatan yang dikandungnya. Menurut al-Syatibi
sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang dibutuhkan untuk memahami Maqashid
al-Syari’ah. Ketiga syarat itu adalah:
- Memiliki pengetahuan tentang Bahasa Arab
Syarat
pertama ini bertitik tolak dari alasan bahwa Alqur’an sebagai sumber hukum
diturunkan oleh Allah Swt. Dalam bahasa Arab, dalam Alqur’an surat al-Syura
ayat 192,193, 194 dan 195 yang artinya;” Dan Sesungguhnya Al Quran ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh
Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di
antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.
Menurut al-
Syatibi Alqur’an dipaparkan dalam bahasa Arab yang tinggi dan Ma’hud
(berkembang) dalam kalangan bangsa Arab baik dari segi lafalznya maupun
uslubnya, sebagai contoh al-Syatibi menyebutkan bahwa orang-orang Arab
adakalanya menggunakan lafalz ‘am dengan tujuan khas, adakalanya
dengan tujuan ‘am pada satu segi dan khas pada segi yang lain.
Berhubungan
dengan pendapat al-Syatibi diatas yang menyatakan betapa pentingnya Bahasa Arab
untuk memahami Alqur’an dan disinggungnya contoh lafalz ‘am yang di
Isti’malkan (penggunaan) oleh bangsa Arab, penulis menganggap penting
menyinggung sedikit tentang lafalz ‘am sebagai contoh lafalz yang harus
dipahami bagi siapa saja yang ingin memahami maksud Syari’ yang terdapat dalam
Alqur’an dan hadist.
Menurut
istilah Ulama Ushul fiqih, ‘am adalah “Suatu lafalz yang sengaja
diciptakan untuk menunjukkan kepada suatu makna yang mencakup seluruh
satuan-satuan tanpa terbatas pada satu jumlah tertentu”. Lafalz Insan
umpamanya, mencakup semua yang namanya manusia.
Dilihat dari
segi penerapan lafalz ‘am, ulama Usul Fiqh membaginya kepada tiga tingkatan,
yaitu:
1.
Lafalz ‘am yang dikehendaki
darinya adalah ‘am. Artinya, lafalz ‘am dan maksudnya juga ‘am.
Lafalz ‘am dalam bentuk ini tidak didapatkan indikasi untuk
memberlakukan takshis padanya.
2.
Lafalz ‘am yang mengandung
pernyataan Umum tetapi yang di kehendaki darinya adalah Khusus. ‘am
dalam bentuk ini terdapat indikasi yang memalingkan arti ‘amnya.
3.
Lafalz ‘am yang mutlak,
artinya tidak diperdapatkan tanda-tanda untuk dikehendaki kepada umum ataupun
kepada khusus.
Imam
al-Syafi’i berpendapat bahwa dilalah lafalz ‘am kepada satuan-satuannya
adalah Zanni. Menurutnya dalam lafalz itu mencakup semua satuan-satuan
yang tidak jelas sasarannya. Satuan mana yang dikehendaki oleh Nash tidak dapat
diketahui sebelum ada indikasi dari Nash lain. Ayat-ayat Alqur’an dan sunnah
yang bentuk ‘am, dilalahnya adalah Zanni. Atas dasar inilah Imam
al- Syafi’i membolehkan takshis ‘am Alqur’an dengan hadist Ahad.
alasannya ‘am Alqur’an dilalahnya Zanni, sama dengan dilalah hadist
ahad. Dilihat dari segi dilalah, antara ‘am Alqur’an dan hadist ahad
adalah sejajar.
Menurut Imam al-Syafi’i, seperti diungkapkan
oleh oleh Zaqiyuddin Sya’ban, bahwa satuan yang tinggal setelah di taksis
dilalahnya tetap zanni. Demikian juga terhadap ‘am yang tidak
menerima taksis, dilalah satuan-satuanya tetap zanni. Dengan demikian Imam
Syafi’i membolehkan takshis Alqur’an dengan Alqur’an, hadist dengan Hadist, dan
bahkan ‘am Alqur’an boleh ditakshiskan dengan Hadist ahad.
Apabila
terjadi pertentangan antara makna khas dan ‘am, seperti Nash
‘am menetapkan hukum haram sesuatu dan Nash khas menetapkan tidak
haram hukumnya, menurut Imam al-Syafi’i bila terjadi seperti itu harus
diamalkan sesuai dengan ketentuan masing-masing, sebab Nash ‘am
dilalahnya Dhanni, sedangkan Nash khas dilalahnya qath’i,
keduanya tidak boleh dipertentangkan . maka Nash ‘am yang dhanni
belum boleh diamalkan sebelum dikaji Nash khas yang qath’i.
dan yang kedua itulah pada akhirnya yang diamalkan. Kecuali kalau ‘am
itu tidak ada pentakshisnya, maka saat itu diperlukan penalaran.
Masih banyak
lagi istilah-istilah khusus selain lafalz ‘am yang berkaitan dengan
pembahasan lafalz dan dilalah lafalz yang harus diketahui Oleh
seorang yang ingin memahami Maslahah (Maqashid al- Syari’ah) yang terdapat
dalam Alqur’an dan hadist, diantaranya lafalz Khas, Musytarak, Haqiqat,
Majaz, Dilalah lafalz, dan Nasakh. Yang tidak mungkin dijelaskan secara
konfrehensif dalam makalah ini.
2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah
Imam
al-Syafi’i menempatkan Hadist sebagai sumber hukum Islam yang kedua dalam
menggali maksud tuhan yang terkandung dalam Alqur’an, penempatan hadis sebagai
sumber hukum yang kedua setelah Alqur’an disebut juga sebagai Kerangka berfikir
Imam al-Syafi’I, hal ini diungkapkan dalam kitab Al-Risalah:
وجهة العلم
الخبر في الكتاب او السنة او الاجماع او القياس
Artinya: “Dan jalan mendapatkan Ilmu adalah pernyataan dalam kitab
(Alqur’an), atau sunnah atau Ijma’ atau Qiyas”.
Selanjutnya
al-Syafi’i mengatakan apapun hukum yang terdapat dalam hadist itu wajib
diikuti, sama halnya dengan Alqur’an, sebagaimana pernyataan beliau:
و من قبل عن
رسول الله فمن الله قبل لما افترض الله من طاعته
Artinya: “siapa saja menerima ketentuan hokum dari Rulullah, berarti pada
hakikatnya dia menerima dari Allah, karena Allah mewajibkan untuk menta’ati
Rasulullah.”
Sejalan
dengan pandangan nya tentang kokohnya kedudukan sunnah, al-Syafi’i menegaskan
bahwa bila telah ada hadist yang shahih dari rasulullah Saw, maka dalil-dalil
berupa perkataan orang lain tidak di perlukan lagi. Jadi, bila seseorang
telah menemukan hadits shahih, tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan
mengikuti. Suatu hukum yang telah ditetapkan oleh sunnah harus diterima apa
adanya, dan tidak boleh di pertanyakan lagi, al-Syafi’i menegaskan,
mempertanyakan mengapa dan bagaimana terhadap sunnah adalah sesuatu yang
keliru. Hal ini dikemukakannya dengan alasan rasional. Jika hukum yang
ditetapkan oleh sunnah masih dipertanyakan, dengan penggunaan qiyas dan rasio,
maka tidak akan pernah ada kata putus yang dapat dijadikan sebagai patokan, dan
ini akan meruntuhkan kedudukan qiyas itu sendiri sebagai sumber hukum.
Sikap ta’at
dan kerendahan hati al-Syafi’i terhadap hadis bisa kita lihat dalam
ungkapannya:
اذا وجدتم
كتابي خلاف سنة رسول الله فقولوا بسنة رسول الله ودعوا قولي
Artinya: Bila kalian mendapatkan dalam kitab saya sesuatu yang menyalahi
dengan Sunnah Rasulullah Saw, maka ambillah sunnah rasulullah dan tinggalkan
perkataan saya”.
Walaupun
sunnah sebagai sumber hukum kedua, tetapi kenyataannya sunnah menempati
kedudukan yang sangat penting dalam memahami Maqashid al- Syari’ah, karena
sebagian isi Alqur’an yang belum jelas harus dijelaskan dan ditafsirkan oleh
Sunnah. Pada generasi sebelum imam al-Syafi’i, kecendrungan mendasarkan setiap
keputusan kepada sunnah telah melahirkan banyak hadits, tetapi ketentuan yang
terdapat antara suatu hadits dengan hadits yang lain sering ditemukan saling
bertentangan. Kemudian Imum al-Syafi’i tampil dengan merumuskan suatu
metode baru untuk menyelesaikan dua hadits yang saling bertentangan. Jalan yang
ditempuhnya, pertama diusahakan dengan cara mengkompromikan keduanya, sebab
boleh jadi satu hadits mengandung aturan khusus dan hadits yang lain memuat
aturan umum. Jika penggabungan tidak mungkin dilakukan, akan dilihat sanad dan
perawinya. Sunnah yang dipandang lebih kuat sanad atau perawinya lebih
didahulukan dan diutamakan. Akan tetapi jika sunnah tersebut setingkat, dilihat
mana yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Sunnah yang datang
terdahulu di Nasakhkan oleh sunnah yang datang kemudian. Jika keduanya tidak ada tanda-tanda mana
yang terdahulu mana yang terakhir, maka harus diutamakan sunnah yang lebih
cocok dan sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah yang ada pada masalah yang lain.
Dengan
demikian Ilmu tentang Sunnah baik teksnya maupun Asbab al-Wurudnya wajib
diketahui bagi orang- yang ingin menelusururi Maqashid al-Syari’ah. Karena
Sunnah disamping sebagai Sumber hukum Islam yang kedua juga bisa berfungsi
ganda, yaitu memperkokoh dan memperjelas ketentuan hukum yang ditetapkan
Alqur’an, dan menetapkan hukum yang tidak di tetapkan dalam Alqur’an.
3. Mengetahui sebab-sebab turunnya Ayat.
Manyoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi dalam
riwayat – riwayat asbab al-Nuzul merupakan satu hal yang siknifikan untuk
memahami pesan-pesan Al-qur’an, Ibnu taimiyah menyatakan:
معرفة سبب
النزول تعين علي فهم الاية فان العلم بالسبب يورث العلم بالمسبب
Maksudnya: Sebab turun Ayat sangat menolong dalam
menginterpretasikan ayat Alqur’an.
Pedoman dasar yang dipergunakan oleh ulama dalam mengetahui asbabul nuzul
adalah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu
disebabkan pemberitahuan dari seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila
jelas maka hal itu bukan sekedar pendapat (Ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum
Marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah Saw), al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal
berpendapat mengenai asbabul nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan para
riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya,
mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta
bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Az-Zarkani mengemukakan pentingnya ilmu ashbab al-Nuzul dlm memahami
Alqur’an, yaitu sebagai berikut:
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam
menangkap pesan ayat-ayat Alqur’an, umpamanya dalam Alqur’an surat
al-Baqarah (2) ayat 115 dinyatakan bahwa:” dan kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”.
Sebagian mufassirin mentafsirkannya, dengan melihat dhahir ayat diatas,
seseorang boleh menghadap kearah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya, Ia
tidak berkewajiban menghadap kiblat ketika shalat, tetapi ketika melihat sebab
turunnya, kekeliruan interpretasi tersebut sangat jelas, sebab ayat diatas
berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan sedang
melakukan shalat diatas kenderaan, atau berkaitan dengan orang yang berjihat
dalam menentukan arah kiblat.
2. Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum, Umpamanya dalam surat
al-an’am (6) ayat 145 diartikan;
Katakanlah: "Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan
terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Menurut al-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat umum (Hasar) untuk
mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat diatas, al-Syfi’i
menggunakan as-bab al-Nuzul. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan dengan
orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka
halalkan sendiri. Mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan
menghalalkan apa yang telah diharamkan- Nya merupakan kebiasaan orang-orang
kafir, terutama orang-orang yahudi, maka turunlah ayat diatas.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Maqashid al-Syari’ah
(hikmah dari penerapan syariat) bisa ditelusuri dengan memahami asbabul Nuzul
karena memahami sebab turun ayat adalah cara terbaik untuk memahami ma’na
Alqur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak
dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab Nuzulnya. Hal ini senada dengan yang
diunkapkan oleh Al-Wahidi: ‘Tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa
mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya..” Ibnu daqiqil ‘Id
berpendapat bahwa “keterangan tentang sebab Nuzul adalah cara yang kuat (tepat)
untuk memahami makna Alqur’an”.
E. Syari’at dibebankan kepada hamba untuk
dilaksanakan
Aspek ini berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Upaya
untuk mengimplementasikan Maqashid syaria’ah sangat dimungkinkan untuk
siapapun, kapanpun dan dimanapun. karena karakteristik dari Syariat Islam itu
sendiri sangat sempurna dan elastis, dikatakan sempurna karena secara
normative-konsepsional dan subtantif syaria’at Islam mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia. Tema kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, relasi antar
makhluk, dan makhluk dengan khalik serta tuntunan hidup dunia dan akhirat
terkandung didalam ajaran-ajaran-Nya. Hubungan dengan manusia didunia, Ia
mengatur berbagai bidang baik ibadah, mua’malah, jinayat, munakahat, maupun
siasah.
Disamping dinamis hukum Islam juga bersifat elastis, ia tidak
bersifat staqnan dan memaksa. Sehingga Ulama Ushul Fiqh menciptakan
kaedah-kaedah umum (prinsip-prinsip syari’ah) yang bersumber dari sumber yang
utama yaitu Alqur’an dan Hadist untuk memudahkan manusia dalam menjalankan
hukum yang dibebankan oleh Allah Swt, secara garis besar dapat dikelompokkan
kepada dua pembagian yaitu
(1).Menolak kerusakan (دفع الضرر )
(2).Menghilangkan kesulitan (رفع الحرج). Kaedahah dari Hadist . لا ضرر ولا ضررDikarenakan kedua kaedah ini
sangat luas, maka ulama menurunkannya kepada beberapa kaedah yang lain.
Bagi prinsip yang pertama Menolak kerusakan (دفع
الضرر), maka ulama menurunkan
beberapa qaidah fiqih lainnya. Diantaranya:
1. الضرر يدفع بقدر الإمكان: Wajib menolak kerusakan sebelum ia terjadi dengan segala cara
yang memungkinkan. Contohnya: Diwajibkan melakukan jihad sebelum dianiaya
musuh; disyari’atkannya konsep syuf’ah karena menolak kemungkinan kerusakan
diantara dua orang yang berkongsi.
2. يزال الضرر: Wajib menghilangkan kerusakan setelah terjadi. Contohnya:
Disyari’atkannya konsep khiyâr bagi akad yang memiliki kerusakan seperti khiyâr
terhadap barang yang memiliki aib; Begitu juga diwajibkan berubat bagi yang
sakit.
3. الضرر لا يزال بمثله: Tidak diperbolehkan menghilangkan sebuah kerusakan dengan
mendatangkan kerusakan yang sesamanya. Contohnya: Tidak boleh merusak harta
orang lain demi menjaga hartanya; Tidak boleh membunuh orang lain demi
menyelamatkan dirinya ketika kelaparan di hutan misalnya.
4. الأشد يزال بالضرر الأخف الضرر: Kerusakan yang lebih berat boleh
dihilangkan dengan mendatangkan kerusakan yang lebih ringan. Contohnya:
Diperbolehkan melakukan otopsi terhadap jasad wanita yang mati tatkala
bertujuan mengeluarkan janin yang diharapkan masih hidup.
5 يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام : Memikul kemudaratan yang khusus demi
menolak kemudaratan yang umum. Contohnya Diperbolehkan menahan dokter bodoh,
mufti gila, karena menolak dari terjadi bahaya yang berdampak pada masyarakat,
walaupun terpaksa membahayakan mereka
6. درء المفاسد أولى من جلب المنافع : Menolak kerusakan itu lebih utama daripada
menarik kemanfaatan. Contohnya: Diharamkan menjual semua jenis khamar walaupun
dapat memberi keuntungan ekonomi.
7. المحظورات الضرورات تبيح : Dalam keadaan gawat darurat, diperbolehkan melakukan perkara
yang diharamkan. Contohnya: Tidak akan mendapatkan dosa bagi orang yang
kelaparan untuk memakan bangkai atau barang yang diharamkan demi berlangsung
hidup.
8. الضرورات تقدر بقدرها: Keadaan darurat itu ditentukan dengan kadarnya. Contohnya:
Tidak diperbolehkan bagi orang yang kelaparan itu makan barang yang haram
kecuali yang diperlukan baginya untuk hidup.
9. الإضطرار لا يبطل حق الغير: Keterpaksaan itu tidak boleh membatalkan hak orang lain.
Contohnya: Barangsiapa yang terpaksa memakan makanan orang lain, karena menolak
dari mati, maka ia berkewajiban menganti makanan tersebut.
Bagi prinsip yang kedua, Menghilangkan kesulitan (رفع الحرج). maka
ulama menciptakan tiga kaedah global bagi prinsip ini.
1. المشقة تجلب التيسير: Kesulitan yang berlebihan yang bukan biasanya itu akan
mendapatkan keringanan. Contohnya: Musafir, sakit, paksaan, lupa dll
2. الحرج مرفوع شرعا: Kesulitan itu dihilangkan secara syari’at. Contohnya: Cukup
hanya dengan persangkaan (الظن), ketika hilang pedoman untuk menentukan arah kiblat.
3. عامة كانت أو خاصة الحاجة تنزل منزلة الضرورة : Hajat itu dapat menduduki tingkatan
keterpaksaan sama ada ia umum atau khusus. Contohnya Keringanan dengan
diperbolehkannya melakukan akad al-salm dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disini
penulis bisa menyimpulkan Bahwa Maqashid Syari’ah adalah: konsep untuk
mengetahui Hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat
dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh al-Syari'
terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah)
maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapainya
kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriyyat (Primer),
dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyyat (sekunder), dan Tahsiniyyat atau
kamaliyyat (tersier) berdasarkan skala prioritas.
Secara substansial maqasid al syari' mengandung kemashlahatan, kalau
dilihat dari sudut Maqashid Syari’ (tujuan Tuhan) kemeslahatan
itu bisa terbagi kepada empat aspek pertama tujuan tuhan adalah
Penetapan syariah untuk kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. untuk
tercapainya kemashlahatan tersebut tidak ada pilihan lain kecuali melalui
pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta.
Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hkum islam.
Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
Aspek kedua tujuan Allah adalah Penetapan syariah sebagai sesuatu
yang harus dipahami. Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat
dapat dipahami sehingga dicapai kemashlahatan yang dikandungnya. Aspek ketiga
adalah Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus
dilaksanakan. Aspek ini berkaitan dengan kemampuan manusia untuk
melaksanakannya. Sedangkan aspek yang terakhir adalah Penetapan Syari’ah
guna membawa manusia terhindar dari mengikuti Hawa nafsu. Aspek ini
berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf terhadap hukum-hukum Allah
Swt.
Sedangkan untuk memahami Maqashid Syari’ah perlu adanyanya metode ijtihad (Ijtihad
istimbathi dan Ijtihad Munthabiqi) oleh karena itu maqashid Syariah ada
keterkaitan antara Ijtihad, keterkaitan antara Maqashid Syari’ah dengan Ijtihad
adalah keterkaitan antara tiori perumusan hukum dengan metodelogi perumusan
hukum-hukum Islam. Maqashid al-Syari’ah membicarakan persoalan hukum pada level
tioritis, sedangkan Ijtihad menyajikan prosedur dan teknis-teknis Istimbat
hukum.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa maqashid al-Syari’ah adalah
merupakan sebuah konsep yang sangat relevan dipergunakan oleh Umat Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah hadisah yang timbul akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Maqasid Syari’ah itu haruslah secara disiplin
diketahui berdasarkan nash, seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. bukan dari
rekayasa akal, apalagi melalui manipulasi akal. Artinya membelokkan makna Maqashid
al-Syari’ah untuk melegitimasi ide-ide Barat sekular, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla (koordinator Jaringan Islam Liberal)
dia mentafsirkan menjaga agama (hifzh al-din) sebagai “perlindungan
terhadap kebebasan beragama, dan tujuan menjaga akal (hifzh al-‘aql)
diinterpretasikan sebagai “perlindungan terhadap kebebasan berpikir. Jadi,
konsep maqashid al-Syari‘ah telah dijadikan sekadar instrumen untuk menyusupkan
ide-ide liberal yang sekular.
ARTI
DASAR
MAQASYID
AL-ASYARIAH
Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Ushul fiqih II
Pada Jurusan
Syariah Prodi Ekonomi Islam
Oleh
IRWAN EFENDI
01103041
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2012
KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan do'a dan puji syukur kehadirat Allah SWT serta sholawat
serta salam tercurahkan ke junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas Ushul fiqih
Adapun penulisan makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari segala
pihak yang membantu terselesaikannya makalah ini. Maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembina yang telah memberikan tugas untuk pembuatan makalah ini dan
teman-teman yang membantu dan mendorong serta memberikan informasi yang sangat
diperlukan dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat terselesaikan. Semua pihak yang telah ikut berpartisipasi, serta telah memberikan semangat
dalam membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka dari
itu penulis mengharapkan sumbangan pikiran, pendapat serta saran – saran yang
berguna demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca.
Watampone, 21 juni 2012
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ikhtiar Baru Van
Hoeve, Tahun 2002
Anwar,
Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006
Bakri,
Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, Jakarta: P.T.
Raja grafindo Persada, 1996.
Djamil,
Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Ghazali,
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-, al-mustashfa min ‘Ilm al-Ushul,
Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Haramain,
Imam al-, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, Bairut: Dar al-Kutub, al-Ilmiyah
1997
Mas’ud,
Muhammad Khalid, Islamic Legal Philosophiy, Islamabad; Islamic Research
institute, 1977.
Mesra,
Alimin (Ed) Cs, Membangun kultur Ramah perempuan, Reinterpretasi dan
Aktualisasi pesan kitab Suci, Jakarta: Restu Ilahi, 2004
Nabhani,
Taqiyuddin al-, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah Ushûl al-Fiqh), Juz,
Al-Quds: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir. 1953
Qayyim, Ibn,
I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, Beirut: Dar al-Jayl, t.th.
Qattan,
Manna’ Khalil al-, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera antar
Nusa, 2001
Razi, Imam
al- al-mahshul Fi ‘Ilmi al-Ushul, Mekah : Maktabah Nizar Mustafa
al-Baaz, 1997
Syatiby, Abu
Ishaq, Ibrahim bin Musa, Al-, al-Muafaqat fi Ushul al- Syari’ah,
Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.
Subqi,
Tajuddin al-, Jam’u al- Jawami’, Semarang: Toha putra, t.th.