Sabtu, 20 April 2013

makalah ekonomi islam


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Konsep maqashid al-Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam al-Ghazali kemudian disusun secara sistimatis oleh  seorang ahli ushul fikih bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah,  dalam pandangan beliau, menjadi maqashid al-Syari’ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafshilan), didasarkan pada suatu ‘Illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.
Untuk mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid dharûriyât, Maqashid hâjiyat, dan Maqashid tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Hâjiyât maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit. Tahsiniat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia, menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharuriyat  beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-din); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mal).
Secara substansial maqasid al-syari'ah mengandung kemashlahatan, baik ditinjau dari maqasid al-syari' (tujuan Tuhan) maupun maqasid al-mukallaf (tujuan Mukallaf).3 Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid al- Syariah mengandung empat aspek, keempat aspek inilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini, (1). Tujuan awal dari Syari' (Allah dan rasul-Nya) menetapkan syariah yaitu untuk kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. (2). Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami. (3).Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan. (4).Penetapan Syari’ah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum yakni terhindar dari mengikuti Hawa nafsu.
B. Pengertian Maqashid al-Syari’ah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الما artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Didalam Alqur’an Allah Swt menyebutkan beberapa kata Syari’ah diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam surat al-Jassiyah dan al-Syura;
Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)
Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340]7 dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13)
Dari dua ayat diatas bisa disimpulkan bahwa Syariat sama dengan Agama, namun dalam perkembangan sekarang terjadi Reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak masuk dalam pengertian Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.
Setelah menjelaskan definisi maqashid dan Syari’ah secara terpisah kiranya perlu mendefinisikan Maqashid Syari’ah setelah digabungkan kedua kalimat tersebut (Maqashid Syari’ah). menurut Asafri Jaya Bakri bahwa “Pengertian Maqashid Syari’ah secara istilah tidak ada definisi khusus yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadi hal ini sudah maklum di kalangan mereka. Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta’rif yang khusus, beliau Cuma mengungkapkan tentang syari’ah dan funsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwwafakat”:
هذه الشريعة .... وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا Artinya: “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.
الاحكام مشروعة لمصالح العباد
Artinya: “Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.
Dari ungkapan al-Syatibi tersebut yang dikutip oleh Asafri Jaya Bakri bisa dikatakan bahwa Al- Syatibi tidak mendefinisikan Maqashid Syariah secara konfrehensif Cuma menegaskan bahwa doktrin Maqasid Al Syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam,berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat. Mengapa An-Nabhani mengatakan hikmah tidak dikatakan ‘illat? Karena menurut ia nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Misalnya firman Allah Swt dalam Alqur’an Surat Al-Isra (17) ayat 82 dan al-Anbiya ayat 107 yang artinya;
Artinya: Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lil (bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lil. Jadi maksud ayat ini, bahwa hasil (al-natijah) diutusnya Muhammad saw adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari penetapan syaria.
Dari penjelasan diatas memang tidak ada satu ketegasan tentang definisi Maqashid Syari’ah namun demikian ada sebagian Ulama mendefinisikan Maqashid Syariah sebagai mana penulis kutip ketika kuliah bersama Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A yaitu:
المقاصد العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم وتحسناتهم
Artinya: Maqashid Syari’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat dan Tahsiniat mereka.
Kami  menyimpulkan Bahwa Maqashid Syari’ah adalah: konsep untuk mengetahui Hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh al-Syari' terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat atau kamaliat (tersier).

C. Syariah ditetapkan untuk kemaslahatan Hamba didunia dan di akhirat.
Ibnu qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam. Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hokum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan). Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.
Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat, الضروريات مقاصد, حاجيات مقاصد dan مقاصد التحسينات . Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level Dharuriyyat menempati peringkat pertama disusul Hajiyyat dan Tahsiniyyat. level Dharuriat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan diatas. Sementara level Hajiyyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level Tahsiniyyat, adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya antara lain mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat. Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum Islam.
Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Syari’ah, berikut ini akan dijelaskan ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan skala prioritas masing-masing.
(1). Memelihara Agama (حفظ الدين)
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1.      Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.
2.      memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
3.      Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
(2). Memelihara jiwa ( (حفظ النفس
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1.    memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
2.    memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
3.    memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
(3). Memelihara Aqal (حفظ العقل )
Memelihara aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1. Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal.
2.      Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
3.      Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi aqal secara langsung.
(4). Memelihara keturunan (حفظ النسل )
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1.      memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
2.      memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
3.      memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
(5). Memelihara Harta (حفظ المال)
Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1.      memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
2.      memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
3.      memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hukum islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
D. Syari’at sesuatu yang harus dipahami.
Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami sehingga dicapai kemashlahatan yang dikandungnya. Menurut al-Syatibi sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang dibutuhkan untuk memahami Maqashid al-Syari’ah. Ketiga syarat itu adalah:
  1. Memiliki pengetahuan tentang Bahasa Arab
Syarat pertama ini bertitik tolak dari alasan bahwa Alqur’an sebagai sumber hukum diturunkan oleh Allah Swt. Dalam bahasa Arab, dalam Alqur’an surat al-Syura ayat 192,193, 194 dan 195 yang artinya;” Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.
Menurut al- Syatibi Alqur’an dipaparkan dalam bahasa Arab yang tinggi dan Ma’hud (berkembang) dalam kalangan bangsa Arab baik dari segi lafalznya maupun uslubnya, sebagai contoh al-Syatibi menyebutkan bahwa orang-orang Arab adakalanya menggunakan lafalz ‘am dengan tujuan khas, adakalanya dengan tujuan ‘am pada satu segi dan khas pada segi yang lain.
Berhubungan dengan pendapat al-Syatibi diatas yang menyatakan betapa pentingnya Bahasa Arab untuk memahami Alqur’an dan disinggungnya contoh lafalz ‘am yang di Isti’malkan (penggunaan) oleh bangsa Arab, penulis menganggap penting menyinggung sedikit tentang lafalz ‘am sebagai contoh lafalz yang harus dipahami bagi siapa saja yang ingin memahami maksud Syari’ yang terdapat dalam Alqur’an dan hadist.
Menurut istilah Ulama Ushul fiqih, ‘am adalah “Suatu lafalz yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada suatu makna yang mencakup seluruh satuan-satuan tanpa terbatas pada satu jumlah tertentu”. Lafalz Insan umpamanya, mencakup semua yang namanya manusia.
Dilihat dari segi penerapan lafalz ‘am, ulama Usul Fiqh membaginya kepada tiga tingkatan, yaitu:
1.    Lafalz ‘am yang dikehendaki darinya adalah ‘am. Artinya, lafalz ‘am dan maksudnya juga ‘am. Lafalz ‘am dalam bentuk ini tidak didapatkan indikasi untuk memberlakukan takshis padanya.
2.    Lafalz ‘am yang mengandung pernyataan Umum tetapi yang di kehendaki darinya adalah Khusus. ‘am dalam bentuk ini terdapat indikasi yang memalingkan arti ‘amnya.
3.    Lafalz ‘am yang mutlak, artinya tidak diperdapatkan tanda-tanda untuk dikehendaki kepada umum ataupun kepada khusus.
Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa dilalah lafalz ‘am kepada satuan-satuannya adalah Zanni. Menurutnya dalam lafalz itu mencakup semua satuan-satuan yang tidak jelas sasarannya. Satuan mana yang dikehendaki oleh Nash tidak dapat diketahui sebelum ada indikasi dari Nash lain. Ayat-ayat Alqur’an dan sunnah yang bentuk ‘am, dilalahnya adalah Zanni. Atas dasar inilah Imam al- Syafi’i membolehkan takshis ‘am Alqur’an dengan hadist Ahad. alasannya ‘am Alqur’an dilalahnya Zanni, sama dengan dilalah hadist ahad. Dilihat dari segi dilalah, antara ‘am Alqur’an dan hadist ahad adalah sejajar.
 Menurut Imam al-Syafi’i, seperti diungkapkan oleh oleh Zaqiyuddin Sya’ban, bahwa satuan yang tinggal setelah di taksis dilalahnya tetap zanni. Demikian juga terhadap ‘am yang tidak menerima taksis, dilalah satuan-satuanya tetap zanni. Dengan demikian Imam Syafi’i membolehkan takshis Alqur’an dengan Alqur’an, hadist dengan Hadist, dan bahkan ‘am Alqur’an boleh ditakshiskan dengan Hadist ahad.
Apabila terjadi pertentangan antara makna khas dan ‘am, seperti Nash ‘am menetapkan hukum haram sesuatu dan Nash khas menetapkan tidak haram hukumnya, menurut Imam al-Syafi’i bila terjadi seperti itu harus diamalkan sesuai dengan ketentuan masing-masing, sebab Nash ‘am dilalahnya Dhanni, sedangkan Nash khas dilalahnya qath’i, keduanya tidak boleh dipertentangkan . maka Nash ‘am yang dhanni belum boleh diamalkan sebelum dikaji Nash khas yang qath’i. dan yang kedua itulah pada akhirnya yang diamalkan. Kecuali kalau ‘am itu tidak ada pentakshisnya, maka saat itu diperlukan penalaran.
Masih banyak lagi istilah-istilah khusus selain lafalz ‘am yang berkaitan dengan pembahasan lafalz dan dilalah lafalz yang harus diketahui Oleh seorang yang ingin memahami Maslahah (Maqashid al- Syari’ah) yang terdapat dalam Alqur’an dan hadist, diantaranya lafalz Khas, Musytarak, Haqiqat, Majaz, Dilalah lafalz, dan Nasakh. Yang tidak mungkin dijelaskan secara konfrehensif dalam makalah ini.
2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah
Imam al-Syafi’i menempatkan Hadist sebagai sumber hukum Islam yang kedua dalam menggali maksud tuhan yang terkandung dalam Alqur’an, penempatan hadis sebagai sumber hukum yang kedua setelah Alqur’an disebut juga sebagai Kerangka berfikir Imam al-Syafi’I, hal ini diungkapkan dalam kitab Al-Risalah:
وجهة العلم الخبر في الكتاب او السنة او الاجماع او القياس
Artinya: “Dan jalan mendapatkan Ilmu adalah pernyataan dalam kitab (Alqur’an), atau sunnah atau Ijma’ atau Qiyas”.
Selanjutnya al-Syafi’i mengatakan apapun hukum yang terdapat dalam hadist itu wajib diikuti, sama halnya dengan Alqur’an, sebagaimana pernyataan beliau:
و من قبل عن رسول الله فمن الله قبل لما افترض الله من طاعته
Artinya: “siapa saja menerima ketentuan hokum dari Rulullah, berarti pada hakikatnya dia menerima dari Allah, karena Allah mewajibkan untuk menta’ati Rasulullah.”
Sejalan dengan pandangan nya tentang kokohnya kedudukan sunnah, al-Syafi’i menegaskan bahwa bila telah ada hadist yang shahih dari rasulullah Saw, maka dalil-dalil berupa perkataan orang lain tidak di perlukan lagi. Jadi, bila seseorang telah menemukan hadits shahih, tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan mengikuti. Suatu hukum yang telah ditetapkan oleh sunnah harus diterima apa adanya, dan tidak boleh di pertanyakan lagi, al-Syafi’i menegaskan, mempertanyakan mengapa dan bagaimana terhadap sunnah adalah sesuatu yang keliru. Hal ini dikemukakannya dengan alasan rasional. Jika hukum yang ditetapkan oleh sunnah masih dipertanyakan, dengan penggunaan qiyas dan rasio, maka tidak akan pernah ada kata putus yang dapat dijadikan sebagai patokan, dan ini akan meruntuhkan kedudukan qiyas itu sendiri sebagai sumber hukum.
Sikap ta’at dan kerendahan hati al-Syafi’i terhadap hadis bisa kita lihat dalam ungkapannya:
اذا وجدتم كتابي خلاف سنة رسول الله فقولوا بسنة رسول الله ودعوا قولي
Artinya: Bila kalian mendapatkan dalam kitab saya sesuatu yang menyalahi dengan Sunnah Rasulullah Saw, maka ambillah sunnah rasulullah dan tinggalkan perkataan saya”.
Walaupun sunnah sebagai sumber hukum kedua, tetapi kenyataannya sunnah menempati kedudukan yang sangat penting dalam memahami Maqashid al- Syari’ah, karena sebagian isi Alqur’an yang belum jelas harus dijelaskan dan ditafsirkan oleh Sunnah. Pada generasi sebelum imam al-Syafi’i, kecendrungan mendasarkan setiap keputusan kepada sunnah telah melahirkan banyak hadits, tetapi ketentuan yang terdapat antara suatu hadits dengan hadits yang lain sering ditemukan saling bertentangan. Kemudian Imum al-Syafi’i tampil dengan merumuskan suatu metode baru untuk menyelesaikan dua hadits yang saling bertentangan. Jalan yang ditempuhnya, pertama diusahakan dengan cara mengkompromikan keduanya, sebab boleh jadi satu hadits mengandung aturan khusus dan hadits yang lain memuat aturan umum. Jika penggabungan tidak mungkin dilakukan, akan dilihat sanad dan perawinya. Sunnah yang dipandang lebih kuat sanad atau perawinya lebih didahulukan dan diutamakan. Akan tetapi jika sunnah tersebut setingkat, dilihat mana yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Sunnah yang datang terdahulu di Nasakhkan oleh sunnah yang datang kemudian. Jika keduanya tidak ada tanda-tanda mana yang terdahulu mana yang terakhir, maka harus diutamakan sunnah yang lebih cocok dan sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah yang ada pada masalah yang lain.
Dengan demikian Ilmu tentang Sunnah baik teksnya maupun Asbab al-Wurudnya wajib diketahui bagi orang- yang ingin menelusururi Maqashid al-Syari’ah. Karena Sunnah disamping sebagai Sumber hukum Islam yang kedua juga bisa berfungsi ganda, yaitu memperkokoh dan memperjelas ketentuan hukum yang ditetapkan Alqur’an, dan menetapkan hukum yang tidak di tetapkan dalam Alqur’an.
3. Mengetahui sebab-sebab turunnya Ayat.
Manyoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi dalam riwayat – riwayat asbab al-Nuzul merupakan satu hal yang siknifikan untuk memahami pesan-pesan Al-qur’an, Ibnu taimiyah menyatakan:
معرفة سبب النزول تعين علي فهم الاية فان العلم بالسبب يورث العلم بالمسبب
Maksudnya: Sebab turun Ayat sangat menolong dalam menginterpretasikan ayat Alqur’an.
Pedoman dasar yang dipergunakan oleh ulama dalam mengetahui asbabul nuzul adalah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan dari seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas maka hal itu bukan sekedar pendapat (Ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum Marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah Saw), al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal berpendapat mengenai asbabul nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan para riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Az-Zarkani mengemukakan pentingnya ilmu ashbab al-Nuzul dlm memahami Alqur’an, yaitu sebagai berikut:
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Alqur’an, umpamanya dalam Alqur’an surat al-Baqarah (2) ayat 115 dinyatakan bahwa:” dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”.
Sebagian mufassirin mentafsirkannya, dengan melihat dhahir ayat diatas, seseorang boleh menghadap kearah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya, Ia tidak berkewajiban menghadap kiblat ketika shalat, tetapi ketika melihat sebab turunnya, kekeliruan interpretasi tersebut sangat jelas, sebab ayat diatas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan sedang melakukan shalat diatas kenderaan, atau berkaitan dengan orang yang berjihat dalam menentukan arah kiblat.
2.    Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum, Umpamanya dalam surat al-an’am (6) ayat 145 diartikan;
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Menurut al-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat umum (Hasar) untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat diatas, al-Syfi’i menggunakan as-bab al-Nuzul. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan- Nya merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang-orang yahudi, maka turunlah ayat diatas.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Maqashid al-Syari’ah (hikmah dari penerapan syariat) bisa ditelusuri dengan memahami asbabul Nuzul karena memahami sebab turun ayat adalah cara terbaik untuk memahami ma’na Alqur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab Nuzulnya. Hal ini senada dengan yang diunkapkan oleh Al-Wahidi: ‘Tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya..” Ibnu daqiqil ‘Id berpendapat bahwa “keterangan tentang sebab Nuzul adalah cara yang kuat (tepat) untuk memahami makna Alqur’an”.
E. Syari’at dibebankan kepada hamba untuk dilaksanakan
Aspek ini berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Upaya untuk mengimplementasikan Maqashid syaria’ah sangat dimungkinkan untuk siapapun, kapanpun dan dimanapun. karena karakteristik dari Syariat Islam itu sendiri sangat sempurna dan elastis, dikatakan sempurna karena secara normative-konsepsional dan subtantif syaria’at Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tema kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, relasi antar makhluk, dan makhluk dengan khalik serta tuntunan hidup dunia dan akhirat terkandung didalam ajaran-ajaran-Nya. Hubungan dengan manusia didunia, Ia mengatur berbagai bidang baik ibadah, mua’malah, jinayat, munakahat, maupun siasah.
Disamping dinamis hukum Islam juga bersifat elastis, ia tidak bersifat staqnan dan memaksa. Sehingga Ulama Ushul Fiqh menciptakan kaedah-kaedah umum (prinsip-prinsip syari’ah) yang bersumber dari sumber yang utama yaitu Alqur’an dan Hadist untuk memudahkan manusia dalam menjalankan hukum yang dibebankan oleh Allah Swt, secara garis besar dapat dikelompokkan kepada dua pembagian yaitu
(1).Menolak kerusakan (دفع الضرر )
(2).Menghilangkan kesulitan (رفع الحرج). Kaedahah dari Hadist . لا ضرر ولا ضررDikarenakan kedua kaedah ini sangat luas, maka ulama menurunkannya kepada beberapa kaedah yang lain.
Bagi prinsip yang pertama Menolak kerusakan (دفع الضرر), maka ulama menurunkan beberapa qaidah fiqih lainnya. Diantaranya:
1. الضرر يدفع بقدر الإمكان: Wajib menolak kerusakan sebelum ia terjadi dengan segala cara yang memungkinkan. Contohnya: Diwajibkan melakukan jihad sebelum dianiaya musuh; disyari’atkannya konsep syuf’ah karena menolak kemungkinan kerusakan diantara dua orang yang berkongsi.
2. يزال الضرر: Wajib menghilangkan kerusakan setelah terjadi. Contohnya: Disyari’atkannya konsep khiyâr bagi akad yang memiliki kerusakan seperti khiyâr terhadap barang yang memiliki aib; Begitu juga diwajibkan berubat bagi yang sakit.
3. الضرر لا يزال بمثله: Tidak diperbolehkan menghilangkan sebuah kerusakan dengan mendatangkan kerusakan yang sesamanya. Contohnya: Tidak boleh merusak harta orang lain demi menjaga hartanya; Tidak boleh membunuh orang lain demi menyelamatkan dirinya ketika kelaparan di hutan misalnya.
4. الأشد يزال بالضرر الأخف الضرر: Kerusakan yang lebih berat boleh dihilangkan dengan mendatangkan kerusakan yang lebih ringan. Contohnya: Diperbolehkan melakukan otopsi terhadap jasad wanita yang mati tatkala bertujuan mengeluarkan janin yang diharapkan masih hidup.
5 يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام : Memikul kemudaratan yang khusus demi menolak kemudaratan yang umum. Contohnya Diperbolehkan menahan dokter bodoh, mufti gila, karena menolak dari terjadi bahaya yang berdampak pada masyarakat, walaupun terpaksa membahayakan mereka
6. درء المفاسد أولى من جلب المنافع : Menolak kerusakan itu lebih utama daripada menarik kemanfaatan. Contohnya: Diharamkan menjual semua jenis khamar walaupun dapat memberi keuntungan ekonomi.
7. المحظورات الضرورات تبيح : Dalam keadaan gawat darurat, diperbolehkan melakukan perkara yang diharamkan. Contohnya: Tidak akan mendapatkan dosa bagi orang yang kelaparan untuk memakan bangkai atau barang yang diharamkan demi berlangsung hidup.
8. الضرورات تقدر بقدرها: Keadaan darurat itu ditentukan dengan kadarnya. Contohnya: Tidak diperbolehkan bagi orang yang kelaparan itu makan barang yang haram kecuali yang diperlukan baginya untuk hidup.
9. الإضطرار لا يبطل حق الغير: Keterpaksaan itu tidak boleh membatalkan hak orang lain. Contohnya: Barangsiapa yang terpaksa memakan makanan orang lain, karena menolak dari mati, maka ia berkewajiban menganti makanan tersebut.
Bagi prinsip yang kedua, Menghilangkan kesulitan (رفع الحرج). maka ulama menciptakan tiga kaedah global bagi prinsip ini.
1. المشقة تجلب التيسير: Kesulitan yang berlebihan yang bukan biasanya itu akan mendapatkan keringanan. Contohnya: Musafir, sakit, paksaan, lupa dll
2. الحرج مرفوع شرعا: Kesulitan itu dihilangkan secara syari’at. Contohnya: Cukup hanya dengan persangkaan (الظن), ketika hilang pedoman untuk menentukan arah kiblat.
3. عامة كانت أو خاصة الحاجة تنزل منزلة الضرورة : Hajat itu dapat menduduki tingkatan keterpaksaan sama ada ia umum atau khusus. Contohnya Keringanan dengan diperbolehkannya melakukan akad al-salm dan lain-lain.

























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Disini penulis bisa menyimpulkan Bahwa Maqashid Syari’ah adalah: konsep untuk mengetahui Hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits). yang ditetapkan oleh al-Syari' terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapainya kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriyyat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyyat (sekunder), dan Tahsiniyyat atau kamaliyyat (tersier) berdasarkan skala prioritas.
Secara substansial maqasid al syari' mengandung kemashlahatan, kalau dilihat dari sudut Maqashid Syari’ (tujuan Tuhan) kemeslahatan itu bisa terbagi kepada empat aspek pertama tujuan tuhan adalah Penetapan syariah untuk kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. untuk tercapainya kemashlahatan tersebut tidak ada pilihan lain kecuali melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hkum islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
Aspek kedua tujuan Allah adalah Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami sehingga dicapai kemashlahatan yang dikandungnya. Aspek ketiga adalah Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan. Aspek ini berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Sedangkan aspek yang terakhir adalah Penetapan Syari’ah guna membawa manusia terhindar dari mengikuti Hawa nafsu. Aspek ini berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf terhadap hukum-hukum Allah Swt.
Sedangkan untuk memahami Maqashid Syari’ah perlu adanyanya metode ijtihad (Ijtihad istimbathi dan Ijtihad Munthabiqi) oleh karena itu maqashid Syariah ada keterkaitan antara Ijtihad, keterkaitan antara Maqashid Syari’ah dengan Ijtihad adalah keterkaitan antara tiori perumusan hukum dengan metodelogi perumusan hukum-hukum Islam. Maqashid al-Syari’ah membicarakan persoalan hukum pada level tioritis, sedangkan Ijtihad menyajikan prosedur dan teknis-teknis Istimbat hukum.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa maqashid al-Syari’ah adalah merupakan sebuah konsep yang sangat relevan dipergunakan oleh Umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah hadisah yang timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maqasid Syari’ah itu haruslah secara disiplin diketahui berdasarkan nash, seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. bukan dari rekayasa akal, apalagi melalui manipulasi akal. Artinya membelokkan makna Maqashid al-Syari’ah untuk melegitimasi ide-ide Barat sekular, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla (koordinator Jaringan Islam Liberal) dia mentafsirkan menjaga agama (hifzh al-din) sebagai “perlindungan terhadap kebebasan beragama, dan tujuan menjaga akal (hifzh al-‘aql) diinterpretasikan sebagai “perlindungan terhadap kebebasan berpikir. Jadi, konsep maqashid al-Syari‘ah telah dijadikan sekadar instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal yang sekular.
ARTI DASAR
MAQASYID AL-ASYARIAH


 








Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Ushul fiqih II
Pada Jurusan Syariah Prodi Ekonomi Islam


Oleh
IRWAN EFENDI
01103041


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2012
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan do'a dan puji syukur kehadirat Allah SWT serta sholawat serta salam tercurahkan ke junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Ushul fiqih
Adapun penulisan makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari segala pihak yang membantu terselesaikannya makalah ini. Maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembina yang telah memberikan tugas untuk pembuatan makalah ini dan teman-teman yang membantu dan mendorong serta memberikan informasi yang sangat diperlukan dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat terselesaikan. Semua pihak yang telah ikut berpartisipasi, serta telah memberikan semangat dalam membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan sumbangan pikiran, pendapat serta saran – saran yang berguna demi penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca.
Watampone, 21 juni 2012


Penulis


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Tahun 2002
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006
Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-, al-mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Haramain, Imam al-, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, Bairut: Dar al-Kutub, al-Ilmiyah 1997
Mas’ud, Muhammad Khalid, Islamic Legal Philosophiy, Islamabad; Islamic Research institute, 1977.
Mesra, Alimin (Ed) Cs, Membangun kultur Ramah perempuan, Reinterpretasi dan Aktualisasi pesan kitab Suci, Jakarta: Restu Ilahi, 2004
Nabhani, Taqiyuddin al-, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah Ushûl al-Fiqh), Juz, Al-Quds: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir. 1953
Qayyim, Ibn, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, Beirut: Dar al-Jayl, t.th.
Qattan, Manna’ Khalil al-, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera antar Nusa, 2001
Razi, Imam al- al-mahshul Fi ‘Ilmi al-Ushul, Mekah : Maktabah Nizar Mustafa al-Baaz, 1997
Syatiby, Abu Ishaq, Ibrahim bin Musa, Al-, al-Muafaqat fi Ushul al- Syari’ah, Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.
Subqi, Tajuddin al-, Jam’u al- Jawami’, Semarang: Toha putra, t.th.